Jalan Puisi Matsuo Basho

Irwan Segara
4 min readMar 17, 2024

Pada zaman feodal Jepang, terutama di era keshogunan Ashikaga (1336–1392), kekuasaan terpecah menjadi dua, bagian utara dan selatan. Kondisi ini menyulut berbagai pertempuran dan perebutan kekuasaan di sebagian besar wilayah-wilayah strategis negara tersebut. Di tengah kekalutan itu, muncul tiga tokoh yang memiliki visi sama untuk menyatukan Jepang. Ketiganya adalah Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieyasu.

Setelah menumbangkan keshogunan Ashikaga, Nobunaga mengambil alih kekuasaan, kemudian diteruskan oleh Hideyoshi. Lalu, sosok yang dikenal punya kesabaran tingkat tinggi dan penuh perhitungan, Tokugawa Ieyasu mulai memegang kendali kekuasaan. Yang terakhir ini, menjadi penguasa terlama dalam sejarah Jepang. Estafet kekuasaan Ieyasu berlanjut hingga keturunannya. Koshogunan Tokugawa dapat bertahan hingga 264 tahun, dimulai sejak 1603 hingga 1867. Periode tersebut juga dikenal sebagai zaman Edo.

Keshogunan Tokugawa fokus pada perbaikan dalam negeri, terutama pada bidang ekonomi. Tercatat tiga kota besar menjadi pusat ekonomi nasional pada masanya, yang meliputi; Kyoto, Osaka, dan Edo (sekarang Tokyo). Kemakmuran ekonomi ketika itu dapat dicapai dengan pengembangan produksi pertanian dan kesenian, termasuk di bidang sastra dan seni lukis. Tidak heran, jika pada masa keshogunan Tokugawa berhasil memunculkan nama-nama besar di bidang sastra termasuk Ihara Saikaku dengan karya fiksi terkenalnya Ukiyozoshi dan Matsuo Basho dengan haiku-nya.

Ilustrasi keadaan di era Tokugawa Ieyashu. (Gambar dibuat dengan GPT 4)

Pertemuan dengan Sang Guru

Di zaman Edo inilah penyair besar Jepang bermunculan. Matsuo Basho lahir pada tahun 1644, di dekat Ueno, Provinsi Iga. Ia diberi nama Matsuo Kinsaku. Ayahnya adalah seorang samurai kelas rendahan. Pertemuannya dengan puisi terjadi ketika Matsuo Basho kecil bekerja sebagai pelayan di kediaman Todo Yoshitada yang merupakan seorang penyair.

Berkat dia, Basho mulai menyukai puisi. Yoshitada yang memiliki nama pena Sengin, merupakan sosok penting dalam perjalanan kepenyairan Basho karena dia telah memupuk kecintaan sang murid kepada sastra. Yoshitada menjadi tuan sekaligus guru pertamanya. Bersama sang guru, dia menulis puisi bersambung atau renga yang saat itu sedang populer. Karya kolaboratif itu terbit pada 1665.

Setahun kemudian sang guru meninggal. Dengan mangkatnya Yoshitada, pengabdian Basho sebagai pelayan di keluarga Todo terpaksa berakhir. Dia harus mencari pekerjaan lain untuk melanjutkan hidupnya. Meski ayahnya seorang samurai, tampaknya Basho memilih jalan pedang yang lain, yaitu jalan puisi.

Tidak lama kemudian, dia pergi ke Kyoto dan mulai mendalami haiku di bawah bimbingan penyair Kitamura Kigin, sosok yang pernah diperkenalkan oleh almarhum Yoshitada. Dalam dunia kepenyairan, Kigin juga dikenal dengan nama Shusuiken atau Kogetsusai. Di bawah bimbingannya, nama Matsuo Basho sebagai penyair berbakat mulai dikenal luas. Dia dikenal karena gaya puisi-puisinya yang sederhana dan natural.

Undangan Penyair Besar

Salah satu penyair besar pada masa itu, Nishiyama Soin, mengundang Basho bersama beberapa penyair lain ke sekolah Danrin haikai yang didirikannya. Sekolah ini berfokus pada pengajaran puisi. Menginjak usia 30, Basho mulai mengajar haiku di sekolah tersebut. Dia diketahui memiliki 20 murid. Sekolah puisi Danrin berlokasi di Edo.

Basho sangat mengagumi karya-karya Li Bai, penyair besar China abad ke-8. Nama Li Bai sendiri berarti bunga plum putih. Sebagai bentuk kekaguman dan penghormatan kepada Li Bai, Basho mulai menggunakan nama pena Tosei dalam karya-karyanya. Tosei bermakna persik hijau. Selain mengagumi penyair China seperti Li Bai dan Du Fu, dia juga mengagumi penyair klasik Jepang termasuk Sagyo dan Sogi. Nama-nama tersebut telah mempengaruhi perjalanan kepenyairan Basho.

matsuo basho
Monumen Matsuo Basho. (Dok. Wattention)

Namun, pada 1860, Basho memutuskan untuk pindah ke Fukagawa dan meninggalkan profesinya sebagai pengajar puisi. Tempat tinggalnya berlokasi di dekat Sungai Sumida sebagaimana yang ditulis Basho dalam catatan perjalanan Oku no Hosomichi:

“Menjelang akhir musim gugur, aku kembali dari perjalanan di sepanjang pantai. Hampir tak ada waktu untuk membersihkan sarang laba-laba di rumah reyotku di dekat Sungai Sumida sebelum Tahun Baru.”

Di sana ada pohon Basho yang ditanam oleh murid-muridnya. Basho berarti pohon pisang Jepang. Pondokannya disebut Bashō-an atau gubuk pohon Basho. Sejak itu dia menggunakan nama pena Basho dalam karya-karyanya tanpa menyertakan nama marga. Beberapa tahun kemudian, dia memutuskan untuk mengembara dengan berjalan kaki. Menempuh tempat-tempat yang jauh dengan medan terjal dan berliku. Pengembaraan tersebut, yang dialami dan dirasakannya secara langsung, menjadi sumber inspirasinya dalam menulis haiku dan catatan perjalanan.

Karya-karya Basho ditulis berdasarkan pengalaman lahir dan batinnya sendiri. Salah satu masterpiece-nya, Oku no Hosomichi… Basho dikenal sebagai penyair haiku terkemuka di Jepang. Kehidupan dan kepribadian Basho, sebagaimana puisi-puisinya, begitu sederhana dan keras. Dia menghindari gaya hidup flamboyan para seniman yang biasa tinggal di dunia perkotaan. Matsuo Basho tidak hanya dikenal sebagai penyair-pengembara tapi juga penyair-pertapa.

: Catatan kecil ini adalah sepotong pengantar yang saya tulis di salah satu buku terjemahan, selengkapnya bisa dibaca di buku Jalan Setapak ke Utara Jauh & 100 Haiku (Penerbit Kakatua).

--

--

Irwan Segara
Irwan Segara

Written by Irwan Segara

Crypto writer at several news outlets. He is also a writer and translator. Currently working at Bittime.

No responses yet